SEJARAH TERBENTUKNYA KALIMANTAN TENGAH
Kalimantan Tengah adalah salah sebuah
provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibukotanya
adalah Kota Palangka Raya. Kalimantan Tengah memiliki luas 157.983 km²
dan berpenduduk sekitar 2.202.599 jiwa, yang terdiri atas 1.147.878
laki-laki dan 1.054.721 perempuan (hasil Sensus Penduduk Indonesia
2010).
Pada abad ke-14 Maharaja Suryanata, gubernur Majapahit memerintah di
Kerajaan Negara Dipa (Amuntai) dengan wilayah mandalanya dari Tanjung
Silat sampai Tanjung Puting dengan daerah-daerah yang disebut Sakai,
yaitu daerah sungai Barito, Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit,
Labuan Amas, Biaju Kecil (Kapuas-Murung), Biaju Besar (Kahayan),
Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang yang kepala
daerah-daerah tersebut disebut Mantri Sakai, sedangkan wilayah
Kotawaringin pada masa itu merupakan kerajaan tersendiri.
Selanjutnya Kalimantan Tengah masih termasuk dalam wilayah Kesultanan
Banjar, penerus Negara Dipa. Pada abad ke-16, berkuasalah Raja Maruhum
Panambahan yang beristrikan Nyai Siti Biang Lawai, seorang puteri Dayak
anak Patih Rumbih dari Biaju. Tentara Biaju kerapkali dilibatkan dalam
revolusi di istana Banjar, bahkan dengan aksi pemotongan kepala (ngayau)
misalnya saudara muda Nyai Biang Lawai bernama Panglima Sorang (Nanang
Sarang) membantu Raja Maruhum menumpas pemberontakan anak-anak Kiai Di
Podok, demikian juga di masa Pangeran Suryanata II (Sultan Agung). Raja
Maruhum menugaskan Dipati Ngganding untuk memerintah di negeri
Kotawaringin. Dipati Ngganding digantikan oleh menantunya, yaitu
Pangeran Dipati Anta-Kasuma putra Raja Maruhum sebagai raja Kotawaringin
yang pertama dengan gelar Ratu Kota Waringin. Pangeran Dipati
Anta-Kasuma adalah suami dari Andin Juluk binti Dipati Ngganding dan
Nyai Tapu binti Mantri Kahayan. Di Kotawaringin Pangeran Dipati
Anta-Kasuma menikahi wanita setempat dan memperoleh anak, yaitu Pangeran
Amas dan Putri Lanting. Pangeran Amas yang bergelar Ratu Amas inilah
yang menjadi raja Kotawaringin, penggantinya berlanjut hingga Raja
Kotawaringin sekarang, yaitu Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah.
Kontrak pertama Kotawaringin dengan VOC-Belanda terjadi pada tahun 1637.
Menurut laporan Radermacher, pada tahun 1780 telah terdapat
pemerintahan pribumi seperti Kyai Ingebai Suradi Raya kepala daerah
Mendawai, Kyai Ingebai Sudi Ratu kepala daerah Sampit, Raden Jaya kepala
daerah Pembuang dan kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang bergelar
Ratu Kota Ringin.
Berdasarkan traktat 13 Agustus 1787, Sunan Nata Alam dari Banjarmasin
menyerahkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk
Banjarmasin) kepada VOC, sedangkan Kesultanan Banjar sendiri dengan
wilayahnya yang tersisa sepanjang daerah Kuin Utara, Martapura sampai
Tamiang Layang dan Mengkatip menjadi daerah protektorat VOC, Belanda.
Pada tanggal 4 Mei 1826 Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar
menegaskan kembali penyerahan wilayah Kalimantan Tengah beserta
daerah-daerah lainnya kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Selanjutnya kepala-kepala daerah di Kalimantan Tengah berada di bawah
Hindia Belanda.
Berdasarkan Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849,
daerah-daerah di wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling
menurut Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van
Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8. Daerah-daerah di
Kalteng tergolang sebagai negara dependen dan distrik dalam Kesultanan
Banjar.
Sebelum abad XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk daerah yang masih
murni, belum ada pendatang dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat
transportasi adalah perahu. Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai memasuki
daerah Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh
Kerajaan Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri
Kerajaan. Tahun 1520, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan
dikuasai oleh Kesultanan Demak, agama Islam mulai berkembang di
Kotawaringin. Tahun 1615 Kesultanan Banjar mendirikan Kerajaan
Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah.
Daerah-daerah tersebut ialah : Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan
daerah-daerah lain tetap bebas, dipimpin langsung oleh para kepala
suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke
pedalaman. Di daerah Pematang Sawang Pulau Kupang, dekat Kapuas, Kota
Bataguh pernah terjadi perang besar. Perempuan Dayak bernama Nyai Undang
memegang peranan dalam peperangan itu. Nyai Undang didampingi oleh para
satria gagah perkasa, diantaranya Tambun, Bungai, Andin Sindai, dan
Tawala Rawa Raca. Di kemudian hari nama pahlawan gagah perkasa Tambun
Bungai, menjadi nama Kodam XI Tambun Bungai, Kalimantan Tengah. Tahun
1787, dengan adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC,
berakibat daerah Kalimantan Tengah, bahkan nyaris seluruh daerah,
dikuasai VOC.
Pada tanggal 1 Mei 1859 pemerintah Hindia Belanda membuka pelabuhan
di Sampit. Tahun 1917, Pemerintah Penjajah mulai mengangkat masyarakat
setempat untuk dijadikan petugas-petugas pemerintahannya, dengan
pengawasan langsung oleh para penjajah sendiri. Sejak abad XIX, penjajah
mulai mengadakan ekspedisi masuk pedalaman Kalimantan dengan maksud
untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun penduduk pribumi, tidak begitu
saja mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan kepada para penjajah
mereka lakukan hingga abad XX. Perlawanan secara frontal, berakhir tahun
1905, setelah Sultan Mohamad Seman gugur sebagai kusuma bangsa di
Sungai Menawing dan dimakamkan di Puruk Cahu. Tahun 1835, Agama Kristen
Protestan mulai masuk ke pedalaman. Hingga Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, 17 Agustus 1945, para penjajah tidak mampu menguasai
Kalimantan secara menyeluruh. Penduduk asli tetap bertahan dan
mengadakan perlawanan. Pada Agustus 1935 terjadi pertempuran antara suku
Dayak Punan yaitu Oot Marikit dengan kaum penjajah. Pertempuran
diakhiri dengan perdamaian di Sampit antara Oot Marikit dengan
menantunya Pangenan atau Panganon dengan Pemerintah Belanda. Menurut
Hermogenes Ugang , pada abad ke 17, seorang misionaris Roma Katholik
bernama Antonio Ventimiglia pernah datang ke Banjarmasin. Dengan
perjuangan gigih dan ketekunannya hilir-mudik mengarungi sungai besar di
Kalimantan dengan perahu yang telah dilengkapi altar untuk mengurbankan
Misa, ia berhasil membaptiskan tiga ribu orang Ngaju menjadi Katholik.
Pekerjaan beliau dipusatkan di daerah hulu Kapuas (Manusup) dan pengaruh
pekerjaan beliau terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas perintah
Sultan Banjarmasin, Pastor Antonius Ventimiglia kemudian dibunuh. Alasan
pembunuhan adalah karena Pastor Ventimiglia sangat mengasihi orang
Ngaju, sementara saat itu orang-orang Ngaju mempunyai hubungan yang
kurang baik dengan Sultan Surya Alam, karena orang Biaju (Ngaju)
pendukung Sultan Agung (saingannya Sultan Surya Alam). Dengan
terbunuhnya Pastor Ventimiglia maka beribu-ribu umat Katholik orang
Ngaju yang telah dibapbtiskannya, kembali kepada iman asli milik leluhur
mereka. Yang tertinggal hanyalah tanda-tanda salib yang pernah
dikenalkan oleh Pastor Ventimiglia kepada mereka. Namun tanda salib
tersebut telah kehilangan arti yang sebenarnya. Tanda salib hanya
menjadi benda fetis (jimat) yang berkhasiat magis sebagai penolak bala
yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan lapak lampinak dalam bahasa
Dayak atau cacak burung dalam bahasa Banjar.
Asal Mula Palangka Raya
Bahwa Penciptaan Jagat Raya adalah awal serta asal usul dari
Karya RANYING HATALLA (Tuhan Yang Maha Esa) yang berkenaan dengan
penciptaan manusia, cuplikan :
Disebutkan, nenek moyang berasal dari “alam atas” diturunkan ke bumi.
Negeri asal dari alam atas (langit) bernama Lewu Nindan Tarung,
sedangkan tempat mula pertama di bumi disebut bernama Lewu Pantai Danum
Kalunen.
Tersebutlah pasangan suami-isteri (pasutri) Manyamei Tunggal Garing
Janjahunan Laut – Kameloh Putak Bulau Janjulen Karangan (untuk
selanjutnya nama pasutri itu disingkat dan disebut : sang suami Manyamei
dan istri disebut Kameloh atau Putir / Putri saja.
Demikianlah pasutri Manyamei dan Putir/Kameloh berputra laki-laki semua
kembar tiga, yang tertua bernama Maharaja Sangiang„ yang tengah bernama
Maharaja Sangen dan yang bungsu bernama Maharaja Bunu (mengenai nama
tiga kembar itu, pihak Majelis Agama Kaharingan, tidak menggunakan
Maharaja, tapi Raja Sangiang, Raja Sangen dan Raja Bunu).
Nenek Moyang. Arkian tersebutlah Maharaja (Raja) Bunu atas ketentuan
Ranying Hatalla diturunkan ke bumi (dunia) menjadi nenek moyang manusia
(manusia Dayak Kalimantan Tengah). Di Bumi dipilih untuk tempat tinggal
Maharaja (Raja) Bunu yakni Bukit Samatuan, dari situlah keturunannya
menyebar mengisi muka bumi.
Maharaja Bunu yang diturunkan ke bumi itu memakai kendaraan angkasa yang
disebut dengan nama Palangka Bulau Lambayung Nyahu, nelun bulau
namburak ije sambang garantung, secara singkat disebut Palangka Bulau
saja.
Palangka Bulau dilengkapi dengan muatan bekal baik sarana dan segala
keperluan hidup seperti semua perkakas/peralatan bercocok tanam,
berburu, perkakas/ peralatan membuat senjata, bibit padi disebut
parei-behas, behas parei nyangen tingang pulut lumpung penyang, bibit
buah-buahan/tetumbuhan, bibit ternak/satwa.
Parei Behas (Padi Beras) yang merupakan bahan makanan pokok (nasi)
sekaligus menjadi tambahan darah daging yang menghidupkan, dan beras
(behas) juga dapat digunakan sebagai sarana secara ritual komunikasi
(behas tawur).
1.
Palangka Bulau
Palangka, dalam konteks kendaraan angkasa yang memang
atas perintah Ranying Hatalla digunakan untuk “mengantar” Maharaja Bunu
ke bumi adalah wahana besar (kendaraan besar), oleh Hardeland dikatakan
: “Palangka, ein Gestell, fast in der Form einer Bestell, …ein Gestell
vorn in einem Boote …. “ (Dr Aug. Hardeland : Dajack-Deutaches
Worterbuch – 1859 halaman 401).
Sebagai wahana angkasa, maka berarti juga Palangka adalah wadah atau
tempat, dan itu berarti adalah kata benda yang berdiri sendiri.
2.
Bulau,
Artinya emas. Dalam Bahasa Dayak Ngaju, emas, intan dan perak adalah
logam mulia menjadi harta kekayaan yang tertinggi nilai nya yang disebut
panatau panuhan, sedangkan emas, intan dan perak disebut singkat bulau
salaka, artinya logam mulia yang sangat berharga yang tinggi nilainya.
Dalam konteks religi Suku Dayak Ngaju, sorga-loka atau sorgawi tempat
tinggal terakhir kediaman manusia bersama Ranying Hatalla yang sangat
suci, mulia dan besar. Oleh Hanteran digambarkan negeri sorgawi itu
sebagai : habusung Intan, habaras Bulau, hakarangan Lamiang, maksudnya
bahwa indahnya sorga itu tiada taranya, adanya kehidupan yang suci dan
mulia di bawah naungan Ranying Hatalla (Tuhan Yang Maha Suci, Maha-esa
dan Maha-kuasa, penuh kedamaian dan penuh Ke Agungan.
Keadaan dan suasana surgawi yang demikian disingkat dan disimpulkan sebagai hal RAYA, sebagaimana disebut oleh Hanteran.
Perkataan (entri) RAYA pada Kamus Dwibahasa Dayak Ngaju – Indonesia
disebutkan artinya : besar sekali, akbar (lihat Albert A.Bingan – Offeny
A. Ibrahim: Kamus Dwibahasa Dayak Ngaju – Indonesia, cetakan ke-2
halaman 260).
3.
Palangka Bulau = Palangka Raya
Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah, Panitia Mencari Tempat dan
Pemberian Nama Ibukota dan arahan pemikiran Gubernur Pembentuk Provinsi
Kalimantan Tengah RTA Milono yang menetapkan nama PALANGKA RAYA bagi
Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah.
Penulisannya terpisah, bukan digabungkan (bukan ditulis serangkai). Dan
Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah Palangka Raya dicantumkan pada pasal 2
ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 1958 tentang penetapan UUDrt Nomor 10 Tahun
1957.
Memang pada ayat (1) pasal 2 UU No. 21 Tahun 1958 tertulis Palangkaraya,
itu merupakan suatu friksi diuraikan kemudian di bawah nanti.
Dan dari semula penulisan nama Ibukota Kalimantan Tengah Palangka Raya, adalah ditulis terpisah, jadi bukan ditulis serangkai,
Tentang Tjilik Riwut
orang paling berjasa bagi Indonesia khususnya rakyat Kalimantan Tengah
Tjilik Riwut salah satu ikon sejarah Indonesia, pelaku
peristiwa sejarah yang memberikan andil perjuangan membela Republik
Indonesia, tentang perjuangan menggalang Sumpah Setia Masyarakat
Suku-suku Dayak sampai Pedalaman Rimba Raya Kalimantan kepada Pemerintah
Republik Indonesia pada awal bangsa kita menegakkan kemerdekaan.
Perjalanan sebuah misi Pemerintah Republik Indonesia yang waktu itu
berpusat di Yogyakarta pada tahun 1946, dalam rangka upaya menyatukan
Daerah Borneo (Kalimantan) berada di dalam wilayah kekuasaan Republik
Indonesia. Perjalanan Rombongan 11 Oetoesan Pemerintah Repoeblik
Indonesia (ROPRI) ke pulau Kalimantan ditengah-tengah berkuasanya
Pemerintahan Sipil NICA dan kekuatan bersenjatanya yang terkenal dengan
KL dan KNIL waktu itu.
Beberapa ekspedisi dikirim ke Kalimantan, diantaranya adalah ROPRI II
Pimpinan Mayor Tjilik Riwut yang bertujuan menghimpun badan*badan
perjuangan, memberi penerangan kepada masyarakat Dayak di Kalimantan
tentang arti dan makna kemerdekaan. juga membentuk satu kekuatan
bersenjata berbentuk pasukan MN 1001 yang wilayah operasinya membentang
di Kalimantan bagian Tengah hingga Selatan.
Tjilik Riwut sebagai pelaku sejarah adalah salah satu diantara putera
Kalimantan lahir di desa Kasongan, Kalimantan Tengah bersama-sama teman
seperjuangannya adalah generasi 1945, selain merantau ke pulau Jawa
untuk menuntut ilmu, bersama beberapa pemuda militan waktu itu
diterjunkan kepulau Kalimantan sebagai pelaksana misi Pemerintah
Republik Indonesia yang baru saja terbentuk. Rombongan-rombongan
ekspedisi ke Kalimantan dari Jawa yang kemudian membentuk barisan
perjuangan di daerah yang sangat luas ini pada jamannya disebut sebagai
kaum ekstrimis oleh pihak Belanda.
Misi diatas berhasil dilakukan dengan perjuangan dan tantangan yang
berat menempuh medan yang sukar dibayangkan pada jaman ini, yaitu rimba
belantara yang lebat, mengarungi laut dan sungai, melintasi riam-riam,
dengan sarana transportasi tradisional seperti rakit dan perahu dan
bahkan berjalan kaki. Perjuangan menyelusuri rimba belantara guna
menghubungi suku-suku Dayak di berbagai pelosok Kalimantan berhasil
menyatukan persepsi rakyat yang sudah bosan hidup di alam penjajahan
sehingga bersama-sama dapat menggalang persatuan dan kesatuan.
sumber : https://rinnymuymuy.wordpress.com/2012/05/04/sejarah-terbentuknya-kalimantan-tengah/